percakapan di gagang telepon - niat

February 11, 2015

seorang teman bertanya sembari meyakinkan: "bukankan niat baik selalu mendapatkan hasil yang baik?"

"bukan" secara otomatis saya meragukan kalimatnya barusan. dia tetap menahan tangisnya di sudut kamar melalui telepon genggam itu.

begini, keberhasilan suatu aksi dapat kita ketahui melalui reaksi target. niat yang baik belum tentu hasilnya baik. ya setidaknya untuk kita, sang pelaku, harus bisa mengambil sisi baiknya. mengapa? tidak semua niat baik ditanggapi baik oleh orang lain. apa yang kita berikan belum tentu dapat diterima oleh orang lain. saya coba ambil dua contoh untuk penjelasan sebelumnya:

Pertama,
suatu kejadian yang tidak tabu lagi di hadapan kita sebagai masyarakat. seorang elit politik atau pejabat melakukan kegiatan komunikasi interpersonal. entah mengobrol dengan pekerja serabutan, mengunjungi panti-panti, rumah sakit, turun tangan mengatasi permasalahan di pinggiran kota, atau apapun itu. momennya bisa kapanpun, bisa saat masa kampanye, saat masa kerja, atau diam-diam dengan turut mengajak beberapa media. fenomena ini biasa kita sebut pencitraan. suatu tindakan cari muka dan perhatian agar ambisinya berjalan mulus. banyak yang menganggap bahwa cara ini sangat menjijikan. dengan mengekspos penderitaan orang lain dan kebaikan diri sendiri bukanlah perpaduan yang patut diacungi jempol, apalagi sambil berdiri dan memberi tepuk tangan meriah. semua drama, kita hidup di dalam naskah.

Kedua,
sebagian dari kita pasti pernah merasakannya. baik yang memiliki niat maupun yang menjadi target. apalagi jika kita adalah perempuan, bahkan seseorang yang moody. ada satu ketika dimana kita melihat seseorang sangat kesusahan dan kebingungan dengan pikirannya sendiri. ada suatu masa dimana kita melihat seseorang amat gelisah dengan pekerjaannya. kita, datang dan menawarkan bantuan. tapi apa yang didapat setelahnya? dia mungkin langsung marah, mengumpat, dan mengusir kita jauh-jauh. kita amat mengganggu, katanya. padahal niatnya hanya ingin meminjamkan pundak untuk memikul sebagin beban yang dia rasakan. tapi ya.....baiklah.

begitu maksud saya. mengapa niat baik tidak selalu memberikan hasil yang baik. semua tergantung dengan apa yang ditangkap oleh orang lain dan bagaimana kita menawarkan niat tersebut. pada kasus pertama, bisa saja aktor utama benar-benar memiliki niat yang baik untuk membantu, namun kurang tepat dilakukan saat masa-masa pendekatan dengan masyarakat. atau agaknya terlalu berlebihan jika dilakukan langsung oleh seseorang yang memiliki jabatan, tentu dia memiliki tangan kanan untuk diamanahi kebaikannya bukan? nampaknya turun tangan menjadi hal yang terlalu frontal bagi banyak orang. sedangkan pada kasus kedua, mungkin waktu pertolongan kurang tepat bagi target. disaat sedang pusing-pusingnya dan berusaha memikirkan jalan keluar, lalu kita datang bagai seseorang yang akan merampas semua ide mereka. pantaslah kalau mereka amat ketakutan.

tapi ya begitulah, ungkapan manusia sebagai makhluk sosial yang sempurna kadang disalah artikan oleh manusia itu sendiri. kadang kita bahkan lupa bahwa satu-satunya yang berhak menghakimi segala perilaku kita hanyalah Tuhan Sang Maha Pemilik Hidup. saya jadi ingat perkataan Rangga kepada Cinta di film Ada Apa Dengan Cinta "manusia itu setidaknya kalau tidak punya otak, ya punya hati. kalau kamu, gak dua-duanya". sekarang, semua pilihan selalu ada di tanganmu. semua niat baik itu mau berakhir menjadi niat karena enggan diolok-olok, atau ditransformasikan menjadi sebuah aksi meski rasanya pahit? baiknya, tak ada yang kita harapkan selain semua orang bahagia. termasuk kita.